Sabtu, 04 Agustus 2012

Penggalan kisah denganmu, Suamiku!

“Jangan anggap perlakuan mas ini sebagai pengorbanan. Pengorbanan itu kesannya negatif, ah. Mas seneng kok bisa nganter- jemput sa kalo mas ada waktu. Mas gak merasa ngorbanin apapun.” Suamiku mencoba memberiku penjelasan.
       Suatu saat, dalam obrolan santai di kosan kami, iseng-iseng aku mengajukan pertanyaan. Pertanyaan menguji sebetulnya. Biasalah, mencari-cari perhatian.
       “Mas, emang mas gak apa-apa gitu sering nganter jemput ami ke UPI padahal kan jauh.. ngabisin waktu… emang mas gak merasa terganggu? Mas teh meni rela berkorban, hehehe…..”



       Kemudian meluncurlah pernyataan di paragraph pertama dari suamiku. Aku tersanjung.


       Suamiku, Sustia Mei Darta, bukanlah orang romantis yang pandai merayu atau menghujaniku dengan berbagai ungkapan ‘gombal’. Selama setahun pernikahan kami, aku hampir tidak bisa menceritakan moment-moment romantis yang pernah kami lalui. Mungkin aku yang lupa, tapi rasanya tidak ada. Bahkan saat ulang tahunku dua tahun lalu (2010), ketika ia mengajaku makan malam di punclut (puncak ciumbuleuit, Bandung). Sepertinya sih akan romantis, tapi not at all. Tidak berbeda dengan ketika makan bareng teman.

       Selain tidak romantis, ia juga tipe workaholic. Ia sering tidak tidur semalaman hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya, tugas kuliah, ngulik program, download tutorial, dsb.
       Pada awal pernikahan kami, aku sempat ngobrol pada ibu mertuaku tentang hal ini. Aku bilang bahwa terkadang aku merasa dicuekin. “Pulang kerja/kuliah, bukannya santai dulu bareng istri, ngobrol-ngobrol, dsb malah langsung ngidupin komputer,” rajuku.

       Ibu mertuaku bilang, kebiasaan itu memang sudah ada sejak kami belum menikah. Dan saat itupun ibu langsung menasihati suamiku.
       Bila sedang disibukan pekerjaan, ia tidur tidak lebih dari tiga jam sehari. Tapi, meski begitu, suara apapun tidak dapat membangunkannya bila ia sudah tidur.di sisi lain, ia mudah sekali terlelap. Bila sudah berniat untuk tidur, dimanapun tempatnya, tidak lebih dari lima menit ia akan mulai mendengkur menandakan lelap tidurnya.
       Meski begitu, aku tidak meragukan kasih sayangnya sama sekali. Meski tidak dengan cara romantis, ia sering menunjukan sayangnya. Salah satunya dengan antar jemput yang aku ceritakan di awal.
       Jarak kosan kami dengan UPI waktu itu sekitar 34 km dengan 5 titik kemacetan ‘parah’ (kalau pagi-pagi). Bila kuliah jam 7 pagi, aku harus berangkat dari kosan pukul setengah 6. Mau nggak mau dia harus menahan keinginannnya untuk kembali tidur dan mengantarku ke stasion kereta atau mengantarku langsung ke UPI. Tidak jarang ia menyiapkan secangkir teh manis panas, susu atau sarapan untuku.
       Disamping itu, tidak pernah sekalipun ia menuntutku untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Aku ingat di awal pernikahan ia sempat bilang, “sa gak perlu mikiran masalah pekerjaan rumah tangga. Kalau bisa dan mau, ya kerjakan, kalo nggak mau, ya gak usah. Pokoknya fokus aja pada kegiatan sa (kuliah), lakukan apa yang memang sa mau lakukan. Mas juga gitu ko. Kalo mas sempet mas pasti bantuin ngerjain kerjaan di rumah, kalo nggak., ya maaf.”
       Dan apa yang ia katakan sama sekali bukan omong kosong. Apa yang ia katakan selalu ia buktikan dengan tindakan nyata.
       Bahagia?? Hmm….Terharu tepatnya. Rasanya ini kali pertama ada seorang lelaki yang menurutku begitu menyayangi dan memanjakanku. Ia tidak selalu dapat memahami apa yang aku mau, tapi ia tak pernah berhenti berusaha untuk itu. Hmm…. Suamiku, Thanks for your sweetest love… 

2 komentar: