![]() |
| source: paskrimo.blogspot.com |
Buku terbitan tahun 1956 ini, tampak lusuh termakan waktu. Lembaran-lembaran kertasnya berwarna kuning kusam. Tampaknya warna itu memang bukan warna aslinya. Beberapa bagian dari covernya yang hampir terlepas itu sobek di sana sini. Meski begitu, buku ini masih sangat layak untuk dibaca. Semua bagiannya masih lengkap.
Buku ini sengaja dipinjam suamiku dari salah seorang dosen di STSI, Hernawan. Hal ini ia lakukan bukan tanpa alasan. Ia tahu, keluargaku tepatnya aku dan bapakku, senang membaca buku-buku berbahasa Sunda.
Dulu, tiap kali aku pulang ke Tasik, hampir selalu disambut buku atau majalah baru. Diantaranya buku berbahasa Sunda. Sebagian besar adalah kumpulan guyonan. Sebagian yang lain adalah cerita anak-anak dan remaja.
Aku sendiri lebih senang membaca buku Sunda yang berisi cerita anak-anak dan remaja. Ada sensasi tersendiri saat aku membaca cerita-cerita itu. Mungkin karena semua cerita yang aku baca dari buku itu menceritakan kisah saat teknologi belum begitu maju, seperti sekarang. Waas, kalau orang Sunda bilang.
Dengan bahasa Sunda yang masih asli, alam yang, dalam bayanganku, masih terasa asri, tanpa polusi, dan masih minim teknologi. Hal-hal itu adalah hal-hal yang aku ingin rasakan dalam hidupku.
Ini contoh kutipan dalam buku Taman Pamekar dengan sub judul “Tjaang Bulan”, hmm, what do you think?
“Bada Magrib Aman geus disalampeur ku babaturanana. Rek marulan tjenah. Harita teh tanggal 13. Ti beurang keneh geus baradami rek galah. Bulan geus rada luhur tjaangna ngempraj njaangan sakuliah alam.”
Dalam kisah itu diceritakan saat malam bulan purnama Aman dan teman-temannya akan bermain galah. Jaman sekarang, di daerahku, mungkin juga di daerah perkotaan lain, Magrib anak-anak masih di luar (mau bulan purnama atau bukan), orang tua sudah mulai khawatir dan sibuk mencari. Dan itu sangat wajar mengingat banyaknya kejahatan berkeliaran saat ini.
Menurut cerita bapak dan mamah ku, jaman dulu memang biasa, bila terang bulan anak-anak bermain di luar. Ada yang bermain galah, petak umpet, baren, dll. Hal ini karena saat itu listrik belum masuk ke daerahnya. Pada malam-malam biasa, suasana luar gelap gulita, tetapi saat terang bulan suasana luar tampak terang dan sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Bapakku bilang, jaman ia kecil, ia hanya bisa membaca buku di sekolah. Meski kedua orangtuanya guru, membeli buku belum membudaya di rumahnya. Jadi, ia hanya bisa menikmati kisah-kisah dalam buku saat ia di sekolah. Tapi meski begitu, ia bilang cerita dalam Taman Pamekar itu membekas dalam ingatannya.
Isi dari buku ini sebenarnya sangat ringan. Tiap kisah per kisahnya diceritakan dalam beberapa sub judul, dengan tokoh yang sama. Ada beberapa tokoh yang jadi maskot dalam buku ini, Aman, Ade, Isah, dan Udi sahabatnya Aman. Masing-masih tokoh dimunculkan dalam karakter yang berbeda-beda. Dalam beberapa seri buku Taman Pamekar, selalu tokoh-tokoh ini yang dimunculkan.
Menurut bapakku, yang cukup konsen memerhatikan pendidikan dan sempat mendapatkan penghargaan sebagai “Community Leaders Concerns abot Education” dari Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) dua tahun silam, buku seperti ini yang dibutuhkan anak-anak Indonesia dalam proses pembetukan karakternya. Selain disertai gambaran budaya yang masih sangat kental, buku ini juga memiliki mascot yang cukup kuat dan tidak mustahil dapat membekas pada diri pembaca.
Buku seperti ini menjadikannya cinta tanah air, khususnya suku tempat ia dilahirkan, suku Sunda dengan segala macam keunikannya. Ia juga menganggap, tiap-tiap anak harus punya panutan atas apa yang ia kerjakan. Dan tokoh-tokoh dalam buku, bisa menjadi alternatif panutan mereka. Memang fiktif, tapi itu tak jadi masalah. Ia ingat bahwa dulu ia mengangankan menjadi seorang Aman. Sayangnya, cerita itu tidak dilanjutkan sampai Aman dewasa. Padahal bapakku penasaran, jadi seperti apa Aman di masa dewasanya.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang aku pelajari dalam mata kuliah “Teaching English to Young Learners”, yang menjelaskan bahwa salah satu hal yang perlu dimiliki dalam buku anak-anak adalah mascot. Tokoh yang menyertai cerita dari awal sampai akhir.
“Wah, kuduna mah di cetak deui ieu buku teh, potokopi we, Mi, !” pungkasnya, mengakhiri pembicaran dan cerita nostalgia. Hmm….

salam kenal, abdi alimudin.
BalasHapusEmut jaman nuju SD, abdi sok ngaos buku taman pamekar (taun 1988an) meni waas eta buku teh, kumaha auyeuna masih keneh kagungan koleksina?
upami tiasa mah hoyong ngaririhan, sawios poto kopian oge, hehe. hatur nuhun.
tiasa kontak ka 08157060929/ alimudina@yahoo.com
hapunten tos ngarerepot:)
Waraas ka jaman kapungkur asa enya w aya tokoh-tokohna teh
BalasHapusWa'as emut zaman katukang ningali buku Taman Pamekar, abdi ge gaduh tp tos saroek, sareng jilidna tos teu Aya...
BalasHapusManawi aya pdf na. Tiasa nyuhunkeun
BalasHapusmanawi pdf na kersa upload
BalasHapus